Langsung ke konten utama

Kampung Pitu, Penjaga Kesakralan Angka Tujuh




Mendengar nama Nglanggeran tentunya masyarakat umum akan mengingat destinasi wisata yang berada di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Dikenal dengan panorama indah pegunungan batu yang konon berasal dari gunung api purba yang aktif ribuan tahun lalu.

Puncak gunung api purba Nglanggeran kini banyak diburu wisatawan untuk menikmati suasana ketinggian.

Di kala matahari terbit di ufuk timur ataupun ketika tenggelam di sisi barat, panorama indah akan tersaji di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Tak hanya itu, dalam lima tahun terakhir keindahan gunung api purba Nglanggeran semakin sempurna dengan keberadaan Embung atau danau buatan yang ada di sisi tenggara Gunung Api Purba Nglanggeran ini.

Selain destinasi wisata yang mumpuni, tak jauh dari Ngalenggaran ada suatu wilayah yang sampai saat ini dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Tempat tersebut dikenal dengan nama Kampung Pitu (Kampung Tujuh).

Kampung Pitu berada di sisi timur puncak gunung api purba Nglanggeran atau yang sering disebut Gunung Wayang. Kampung ini dianggap sangat spesial karena hanya berisi tujuh kepala keluarga (KK).

Kampung Pitu tepat berada di Dusun Nglanggeran Wetan RT 04/RW 19.  Untuk menuju Kampung Pitu, harus menempuh medan yang cukup berat. Jalan berbatu dan menanjak memang menjadi sesuatu yang menantang untuk ditaklukkan ketika akan mengunjungi Kampung Pitu.

Keberadaan Kampung Pitu pun tergolong cukup unik, lantaran ditempati tujuh kepala keluarga saja. Tak hanya itu, keunikan lainnya adalah luas lahannya yang hanya sekitar tujuh hektare dengan tekstur berbukit. Pun lantaran itu, pola rumah yang didirikan oleh warga juga letaknya saling berjauhan.

Tetua Kampung Pitu Yatno Rejo mengakui Kampung Pitu menyimpan segala misteri hal tersebut bermula dari ditemukannya tanaman bernama Kinah atau Gadung Wulung. Oleh masyarakat sekitar di dalam pohon tersebut diyakini ada pusaka yang cukup besar ukurannya.

"Awalnya Kampung Pitu itu bernama Tlogo Guyangan dalam arti jawa adalah Telaga Tempat Memandikan Ternak (guyangan)," ceritanya.

Tlogo Guyangan pun diyakini merupakan telaga yang awalnya digunakan untuk memandikan kuda sembrani, kuda gaib tunggangan para Bidadari.

Konon ceritanya setiap kuda sembrani yang dimandikan di Telogo Guyangan tersebut meninggalkan jejak di Gunung Api Purba Nglanggeran. Dulunya para Abdi dalem Keraton sering mengambil telapak kaki kuda tersebut dengan doa-doa tertentu.

"Sekarang telaganya sudah tertutup lumpur dan kami buat sebagai sawah untuk sumber penghidupan kami. Sementara sumber air di samping Telaga tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan warga dan juga irigasi sawah," tambahnya.

Selain Telaga Guyangan, di tempat ini juga ada memiliki tempat yang dikenal dengan nama Bukit Bantal. Bukit Bantal juga tidak lepas dari cerita keberadaan Putri yang mandi di telaga dan beristirahat di bebatuan yang mirip bantal.

Karena keberadaan pohon kina Gadung wulung yang memiliki pusaka cukup besar tersebut akhirnya Abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yang bisa menjaga pohon Kinah Gadung Wulung tersebut maka diberi tanah turun temurun.

Kalah itu ada seseorang yang bernama Iro Kromo atau gini di panggil sebagai Eyang. Iro Kromo. Eyang Iro Kromo akhirnya memiliki keturunan yang hingga saat ini tinggal di Kampung Pitu. Eyang Iro Kromo berhasil menjaga pohon Tinah atau Gadung Wulung tersebut. Namun selang beberapa tahun kemudian keberadaan pohon kina Gadung Wulung tersebut ditemukan lagi.

Kampung Pitu terus didatangi oleh para pemburu pusaka namun yang bertahan hanya tinggal tujuh orang. Di antara tujuh orang tersebut ada dua orang yang menikah namun karena adat istiadat yang ada di kampung Pitu mengharuskan, jika jumlah kepala keluarga yang tinggal di kampung di Tuhan hanya tujuh maka mereka harus keluar dari kampung pintu tersebut.

"Yang tinggal di sini adalah keturunan kelima Eyang Iro Kromo,"ungkapnya.

Sebenarnya di di kampung Pitu terdapat sembilan bangunan namun yang ditempati oleh warga hanya ada tujuh bangunan saja. Sampai saat ini keyakinan warga untuk menjaga kepala keluarga hanya berjumlah tujuh tetap dijaga. Jika ada keturunan yang menikah dan ingin tinggal di kampung tersebut maka harus menunggu salah satu kepala keluarga meninggal terlebih dahulu.

Untuk sementara, keturunan yang baru saja menikah harus tinggal di luar area Kampung Pitu. Jika hal ini dilanggar maka masyarakat Kampung Pitu percaya akan terjadi malapetaka yang menimpa mereka. Malapetaka tersebut bisa seperti anggota keluarga yang sakit-sakitan percekcokan hingga salah satu anggota keluarganya meninggal dunia.

Kejadian tersebut cukup nyata karena sudah terbukti beberapa tahun yang lalu. Sebelum gempa tahun 2006 yang lalu, ada salah seorang warga yang tanpa sepengetahuan keluarga besar di kampung Pitu yang secara sembunyi-sembunyi membuat kartu keluarga sendiri.

Selang beberapa saat kemudian terjadi gempa yang cukup Dahsyat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan dampaknya pun terasa hingga di Kampung Pitu yang beralamat di Dusun Nglanggeran Wetan RT 04/RW 19 Kabupaten Gunungkidul - DI Jogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mereka Ada Diantara Kita!

Psikopat adalah orang yang karena kelainan jiwa, menunjukkan perilaku menyimpang sehingga sulit bergaul. Psikopat berasal dari kata 'Psyche' (jiwa) dan 'Phatos' (sakit). Jadi Psikopat adalah jenis Sakit Jiwa. Ciri Psikopat antara lain: 1. Pandai bicara 2. Punya karisma yang menipu 3. Narsis 4. Sering memandang rendah orang lain. 5. Suka berbohong 6. Tidak merasa takut, menyesal atau bersalah 7. Seringkali anti sosial (minder) 8. Selalu minta perhatian dan dikasihani 9. Tiba-tiba jadi pendiam dan lama-lama menghilang 10. Terus mengganggu Psikopat bukan hanya pelaku kejahatan, tapi bisa juga pekerja profesional yang sukses.  Psikopat mudah bergaul dengan lingkungan, pandai memikat lawan bicara dan mampu meniru emosi. Ingat Dan Waspada !!!!

Fenomena Crown Shyness

Crown Shyness atau pelepasan kanopi merupakan fenomena alam yang misterius. Hal ini terjadi di mana mahkota beberapa jenis pohon tidak saling bersentuhan, tapi dipisahkan oleh celah yang terlihat sangat jelas dari permukaan tanah. Efeknya biasanya terjadi di antara pohon-pohon dari spesies yang sama, tapi telah diamati terjadi pula dengan pohon-pohon dari spesies yang berbeda. Fenomena pelepasan mahkota ini pertama kali didokumentasikan selama tahun 1920an, tapi para peneliti belum dapat mengetahui penyebab dari fenomena tersebut. Ada banyak teori yang beredar di kalangan ilmiah, yang sebagian besar masuk akal. Namun tidak ada yang bisa membuktikan mengapa beberapa pohon bisa tidak saling bersentuhan. Ahli hutan asal Australia, M.R. Jacobs menulis bahwa tiap pohon tumbuh sensitif terhadap abrasi, yang berakibat dengan kesenjangan kanopi atau Crown Shyness. Namun beberapa ilmuwan mengatakan bahwa Crown Shyness merupakan pertahanan alami pohon dari penyabaran serang...

Sunda Ajaran Leluhur Nusantara

Foto: Istimewa Tri tangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau tentu. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang. Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam. Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain: 1. Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi sekalig...