Langsung ke konten utama

MENOLAK LUPA : CIA, ANSOR DAN BANSER


Di tengah pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), PBNU meminta agar pembahasan RUU tersebut dihentikan karena dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Meskipun sikap NU tersebut tidak secara eksplisit menyebut kata-kata komunisme, tetapi ada baiknya kita membaca sejarah peran Nahdlatul Ulama terutama sayap pemudanya - Ansor dan Banser - dalam gerakan pembersihan PKI di Tahun 1965-1966 yang sempat direkam oleh lembaga intelijen Amerika.

Central Intelligence Agencies (CIA) pernah membuat sebuah catatan intelijen (intelligent memorandum) bernomor 1586/66 tanggal 29 Juni 1966 dengan judul Indonesian Youth Groups. Dokumen rahasia lembaga telik sandi paling berpengaruh di dunia ini tidak boleh disebarkan ke pihak asing karena berklasifikasi NFD (No Foreign Dissem).

Selain dibaca Wakil Direktur Intelijen Russel Jack Smith - berselang sehari - dokumen ini sampai ke Gedung Putih untuk diteruskan ke beberapa orang penting: Wakil Presiden Amerika Serikat Hubert Humprey dan veteran Perang dunia kedua yang pernah berkunjung ke Jakarta, Jenderal Maxwell D. Taylor yang juga menjadi penasehat khusus Presiden Lyndon Johnson.

Tulisan ini ingin membedah sejauh mana CIA melihat posisi dan peran Ansor - Banser dalam turbulensi politik Tahun 1965-1966 di Indonesia.

Pengakuan Peran Kesejarahan Dalam dokumen yang dirilis untuk umum Tahun 2001 ini, CIA mengakui peran kesejarahan organisasi pelajar dan pemuda sejak era pra kemerdekaan, terutama ketika penjajahan Jepang  dan  dilanjutkan empat tahun pasca kemerdekaan melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia.

CIA melakukan kategorisasi terhadap lima belas organisasi pelajar dan kepemudaan yakni Ansor, Banser, HMI, PII, KAMI, KAPPI, GMNI, Banra, Pemuda Pancasila, PKRI, PMKRI, GMKI, Germindo, CGMI dan Pemuda Rakyat ke dalam tiga afiliasi aliran: Agama, Nasionalis, dan Sosialisme/Marxisme yang merujuk pada tiga kekuatan politik besar Indonesia di tahun-tahun menjelang peristiwa 30 September 1965 yakni Partai NU, PNI dan PKI.

Data CIA ini tidak salah, tetapi jika dibedah secara lebih detail berdasarkan sejarah kelahiran organisasi pelajar dan kepemudaan di Indonesia maka hanya Ansor dan Banser memiliki usia paling tua karena lahir sebelum penjajahan Jepang (lihat Ansor dan Orbitnya, Soeleiman Fadeli, 1995:12). Organisasi lain yang disebut dalam dokumen CIA, lahir setelah proklamasi kemerdekaan bahkan KAMI dan KAPPI baru muncul pasca peristiwa 30 September 1965.

Efektivitas Ansor dan Banser di daerah basis PKI
Yang menarik dalam mapping kekuatan pemuda dan pelajar Indonesia, CIA memberikan catatan khusus terhadap Ansor dan Banser.

Pertama, secara internal, Ansor dan Banser dianggap lebih ‘blak-blakan (forthright)’ berhadapan dengan kekuatan komunis dibanding organisasi induknya, Nahdlatul Ulama, yang relatif pragmatis (terhadap kebijakan Nasakom ala Soekarno). Analisa CIA bisa kita perdebatkan terutama jika dikaitkan dengan penjelasan KH. Wahab Hasbullah bahwa masuknya Partai NU dalam barisan Nasakom justru merupakan strategi ‘kontrol dan amar ma’ruf nahi munkar dari dalam’.

Sikap ini juga menghindari pembubaran partai karena NU sempat memperoleh surat teguran dari Menteri Keamanan Nasional, Jenderal AH. Nasution, karena dianggap belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Penetapan Presiden No. 7/1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian (Choirul Anam, 1990: 69).

Strategi ‘kontrol dari dalam’ ini pernah terbukti efektif ketika terjadi peristiwa bentrok anggota Ansor dengan PKI di Kediri, dan kemudian dibahas di sidang kabinet Bulan Maret 1964. Waktu itu, Ketua CC PKI Dipo Nusantara Aidit pernah meminta agar Ansor dibubarkan karena melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat.

Permintaan Aidit ini langsung disanggah oleh Idham Chalid sebagai ketua Partai NU dan mengatakan di depan Bung Karno, “Tidak bisa! saya tidak pernah mengajarkan kekerasan. Yang dilakukan Ansor membela rakyat akibat BTI (Barisan Tani Indonesia, salahsatu underbouw PKI) melakukan aksi sepihak”.

Ansorpun tidak jadi dibubarkan meskipun pada Bulan April 1964 pim pinannya yang terdiri dari Yahya Ubaid, Chalid Mawardi, Kun Sholehudin dan Hizbullah Huda (dua orang terakhir merupakan pimpinan Ansor Jawa Timur) sempat dipanggil Kepala BPI (Biro Pusat Intelijen) Subandrio yang didampingi Sekretaris BPI, Mayjend Soetarto untuk melakukan klarifikasi atas peristiwa Kediri tersebut (wawancara dengan Choirul Anam, 9 Pebruari 2018).

Kedua, secara eksternal, CIA melihat Ansor dan Banser memiliki persebaran yang merata dan efektif sebagai kekuatan Islam dalam gerakan anti komunis terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur yang dianggap sebagai basis PKI dan nasionalis kiri. Berdasarkan asesmen dari CIA, dua organisasi yang memiliki afiliasi dengan Masyumi yakni HMI hanya efektif di Jakarta dan PII juga tidak mangkus karena terlibat perselisihan dengan ormas pemuda lain akibat proposalnya untuk menjadi ‘pimpinan permanen’ ditolak dan membuatnya dikeluarkan dari KAPPI tanggal 25 Mei 1966 (dokumen CIA halaman 5).

Lembaga intelijen Amerika itu secara khusus menyebut ada kompleksitas persoalan di Jawa Timur sebagai daerah basis PKI dan PNI yang harus dihadapi Ansor: keterlibatan sayap pemuda NU dalam gerakan ‘pembersihan’ PKI di sisi lain juga menghadapi tantangan dari sebagian anggota KKO dan Mobrig yang memiliki keluarga terafiliasi dengan PKI, ditambah lagi adanya unsur militer lain yang mendukung nasionalis kiri (leftist nationalist).

Ansor juga dilaporkan berselisih dengan organisasi lain lain yang menggunakan sentimen pro Sukarno (dokumen CIA halaman 8), bahkan berujung pada upaya penculikan dan pemukulan (dokumen CIA halaman 9).

Pada akhirnya, peristiwa yang terjadi sepanjang Tahun 1965-1966 bahkan sesudahnya, cukuplah menjadi bagian dari sejarah kelam kenegaraan masa lalu.

Meminjam kalimat George Santayana, those who cannot remember the past are condemned to repeat it (barangsiapa yang tidak dapat mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulanginya). Bangsa Indonesia perlu mengambil pelajaran agar peristiwa semacam itu tidak akan terjadi lagi. Wallahu a’lam bisshawab.

Sumber :
KH Imron Rosyadi Hamid,


Rois Syuriyah PCINU Tiongkok, Kandidat PhD. Hubungan Internasional Jilin University - China

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mereka Ada Diantara Kita!

Psikopat adalah orang yang karena kelainan jiwa, menunjukkan perilaku menyimpang sehingga sulit bergaul. Psikopat berasal dari kata 'Psyche' (jiwa) dan 'Phatos' (sakit). Jadi Psikopat adalah jenis Sakit Jiwa. Ciri Psikopat antara lain: 1. Pandai bicara 2. Punya karisma yang menipu 3. Narsis 4. Sering memandang rendah orang lain. 5. Suka berbohong 6. Tidak merasa takut, menyesal atau bersalah 7. Seringkali anti sosial (minder) 8. Selalu minta perhatian dan dikasihani 9. Tiba-tiba jadi pendiam dan lama-lama menghilang 10. Terus mengganggu Psikopat bukan hanya pelaku kejahatan, tapi bisa juga pekerja profesional yang sukses.  Psikopat mudah bergaul dengan lingkungan, pandai memikat lawan bicara dan mampu meniru emosi. Ingat Dan Waspada !!!!

Fenomena Crown Shyness

Crown Shyness atau pelepasan kanopi merupakan fenomena alam yang misterius. Hal ini terjadi di mana mahkota beberapa jenis pohon tidak saling bersentuhan, tapi dipisahkan oleh celah yang terlihat sangat jelas dari permukaan tanah. Efeknya biasanya terjadi di antara pohon-pohon dari spesies yang sama, tapi telah diamati terjadi pula dengan pohon-pohon dari spesies yang berbeda. Fenomena pelepasan mahkota ini pertama kali didokumentasikan selama tahun 1920an, tapi para peneliti belum dapat mengetahui penyebab dari fenomena tersebut. Ada banyak teori yang beredar di kalangan ilmiah, yang sebagian besar masuk akal. Namun tidak ada yang bisa membuktikan mengapa beberapa pohon bisa tidak saling bersentuhan. Ahli hutan asal Australia, M.R. Jacobs menulis bahwa tiap pohon tumbuh sensitif terhadap abrasi, yang berakibat dengan kesenjangan kanopi atau Crown Shyness. Namun beberapa ilmuwan mengatakan bahwa Crown Shyness merupakan pertahanan alami pohon dari penyabaran serang...

Sunda Ajaran Leluhur Nusantara

Foto: Istimewa Tri tangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tri tangtu berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu yang artinya tiga dan tangtu yang artinya pasti atau tentu. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tri tangtu sebagai falsafah hidup yang berpedoman pada tiga hal yang pasti yakni; Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa dan Batara Bima Karana. Cara berpikir dalam pola pembagian tiga adalah umum untuk masyarakat Indonesia,karena orang Indonesia hidup dalam pertanian ladang. Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam. Dalam masyarakat Sunda,tri tangtu diterapkan dalam sejumlah hal, antara lain: 1. Senjata kujang, yang mempunyai tiga fungsi sekalig...